Sejarah Perkembangan Kurikulum di Indonesia
Sejarah Perkembangan Kurikulum Indonesia
Dalam perjalanan
Indonesia, kurikulum di Indonesia dapat di bagi menjadi dua bagian, yaitu
kurikulum sebelum Indonesia merdeka dan kurikulum setelah Indonesia merdeka..
Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem
politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara.
Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan
secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di
masyarakat. Semua kurikulum nasional
dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945,
perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam
merealisasikannya.
1.
Pendidikan Sebelum Masa Kolonialisme
Pada
saat zaman hindu budha, pendidikan hanya dinikmati oleh kelas Brahmana, yang
merupakan kelas teratas dalam kasta Hindu. Mereka umumnya belajar teologi,
sastra, bahasa, ilmu pasti, dan ilmu seni bangunan. Sejarah mencatat,
kerajaan-kerajaan Hindu seperti Kalingga, Kediri, Singosari, dan Majapahit,
melahirkan para empu, punjangga, karya sastra, dan seni yang hebat.
Padepokan
adalah model pendidikan zaman hindu yang dikelola oleh seorang guru/bengawan
dan murid/cantrik mempelajari ilmu bersifat umum, religius, dan juga kesaktian.
Murid di Padepokan bisa keluar masuk bila merasa cukup atau tidak puas dengan
pengajaran guru.
Pada
zaman penyebaran Islam, pola pendidikan bernapaskan islam menyebar dan mewarnai
penyelenggaraan pendidikan. Pusat-pusat pendidikan tesebar di langgar, surau,
meunasah (madrasah), masjid, dan pesantren. Pesantren adalah lembaga pendidikan
formal tertua di Indonesia. Pesantren diajar oleh seorang kyai, dan
santri/murid tinggal di pondok/asrama di sekitar pesantren. Jumlah pondok pesantren
cukup banyak tersebar di Jawa, Aceh, dan sumatera selatan. Sampai saat ini
pondok pesantran masih eksis, menurut data DEPAG pada tahun 2005-2006 jumlah
pesantren yang asa di 33 propinsi di Indonesia adalah 16.015 buah, dengan
jumlah santri sebanyak 3.190.394 orang, dengan proposi laki-laki 53,2% dan
perempuan 46,8%. Bagaimana perkembangan pendidikan islam dari
sebelum merdeka hingga kini, bisa dibaca dihalaman madrasah pada blog ini.
2.
Pendidikan Masa Kolonialisme
Pada
masa penjajahan Portugis didirikan sekolah-sekolah misionaris. Portugis
mendirikan sekolah seminari di Ambon, Maluku, dan sebagian Nusa Tenggara Timur.
Belanda pada awal kedatangannya pun melakukan hal yang sama dengan Portugis.
Pendidikan banyak ditangani oleh kalangan gereja kristen dengan bendera
Nederlands Zendelingen Gennootschap (NZG). Pasca politik etis, Belanda
mengucurkan dana pendidikan yang banyak dan bertambah setiap tahunnya, tetapi
tujuannya untuk melestrarikan penjajahan di Indonesia.
Pada
masa penjajahan Belanda, setidaknya ada tiga sistem pendidikan dan pengajaran
yang berkembang saat itu. Pertama, sistem pendidikan Islam yang
diselenggarakan perantren. Kedua, sistem pendidikan
Belanda. Sistem pendidikan Belanda diatur dengan prosedur yang ketat
dari mulai aturan siswa, pengajar, sistem pengajaran, dan
kurikulum. Sistem prosedural seperti ini sangat berbeda dengan sistem
prosedural pada sistem pendidikan islam yang telah dikenal
sebelumnya. Sistem pendidikan belanda pun bersifat
diskriminatif. Sekolah-sekolah dibentuk dengan
membedakan pendidikan antara anak Belanda, anak timur asing, dan anak pribumi.
Golongan pribumi ini masih dipecah lagi menjadi masyarakat kelas bawah dan
priyayi. Susunan persekolahan zaman kolinial adalah sebagai berikut (Sanjaya,
2007:207):
a.
Persekolahan anak-anak pribumi untuk golongan non priyayi
menggunakan pengantar bahasa daerah, namanya Sekolah Desa 3
tahun. Mereka yang berhasil menamatkannya boleh melajutkan ke
Sekolah Sambungan (Vervolg School) selama 2 tahun. Dari sini
mereka bisa melanjutkan ke Sekolah Guru atau Mulo Pribumi selama 4 tahun,
inilah sekolah paling atas untuk bangsa pribumi biasa. Untuk
golongan pribumi masyarakat bangsawan bisa memasuki His Inlandsche
School selama 7 tahun, Mulo selama 3 tahun, dan Algemene
Middlebare School (AMS) selama 3 tahun.
b.
Untuk orang timur asing disediakan sekolah seperti Sekolah Cina 5
tahun dengan pengantar bahasa Cina, Hollandch Chinese School (HCS) yang berbahasa Belanda
selama 7 tahun. Siswa HCS dapat melanjutkan ke Mulo.
c.
Sedangkan untuk orang Belanda disediakan sekolah rendah sampai
perguruan tinggi, yaitu Eropese Legere School 7 tahun, sekolah lanjutan HBS 3
dan 5 tahun Lyceum 6 tahun, Maddelbare Meisjeschool 5 tahun, Recht Hoge School
5 tahun, Sekolah kedokteran tinggi 8,5 tahun, dan kedokteran gigi 5 tahun.
Pemerintah
kolonial sebenarnya tidak berniat mendirikan universitas tetapi akhirnya mereka
mendirikan universitas untuk kebutuhan mereka sendiri seperti Rechts
Hogeschool (RH) dan Geneeskundige Hogeschool di Jakarta. Di Bandung, pemerintah
kolonial mendirikan Technische Hogeschool (TH). Kebanyakan dosen TH adalah
orang Belanda. Menurut Soenarta (2005) kaum inlanders atau
pribumi agak sulit untuk masuk ke sekolah-sekolah tinggi itu. Ketika
almarhum Prof Roosseno lulus TH, jumlah lulusan yang bukan orang Belanda hanya
tiga orang, yaitu Roosseno dan dua orang lagi vreemde oosterling alias
keturunan Tionghoa. Bila demikian, lantas berapa orang yang lulus bersama
almarhum Ir Soekarno (presiden pertama RI) dan Ir Putuhena? Di zaman pendudukan
Jepang, pernah dicari 100 orang insinyur yang dibutuhkan. Padahal saat itu
belum ada 90 orang insinyur lulusan TH Bandung.
Agar
tidak banyak bangsa Indonesia yang melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi,
maka biaya kuliah pun dibuat sangat besar. Menurut Soenarta (2005)
biaya kuliah untuk satu tahun di salah satu sekolah tinggi itu besarnya fl
(gulden) 300. Saat itu, harga satu kilogram (kg) beras sama dengan 0,025
gulden. Maka, besar uang kuliah sama dengan 12.000 kg beras. Bila ukuran dan
perbandingan itu diterapkan sebagai biaya kuliah di universitas sekarang,
sedangkan harga beras sekarang rata-rata Rp 3.000 per kg, maka untuk kuliah di
universitas biayanya sebesar Rp 36 juta per mahasiswa per
tahun. Biaya di MULO, setingkat sekolah lanjutan tingkat pertama,
adalah sebesar 5,60 gulden per siswa per bulan, setara dengan 224 kg beras.
Bila dihitung dengan harga beras sekarang, akan menjadi Rp 672.000 per siswa
per bulan. Akibatnya banyak anak Indonesia yang lebih memilih
masuk Ambachtschool atau Technische School, karena biayanya agak
murah sedikit. Berbekal keterampilan yang diperoleh di Ambachtschool atau
Technische School, siswa bisa langsung bekerja setelah lulus.
Kurikulum
pendidikan Belanda dideisain untuk melestarikan penjajahan di Indonesia, maka pada
kurikulum pun dikenalkan kebudayaan Belanda, juga penekan hanya pada menulis
dengan rapi, membaca, dan berhitung, yang keterampilan ini sangat bermanfaat
untuk diperbantukan pada Pemerintah Belanda dengan gaji yang sangat
rendah. Anak-anak Indonesia pada zaman itu tidak diperkenalkan
dengan budayanya sendiri dan potensi bangsanya.
Ketiga, sekolah
yang dikembangkan tokoh pendidikan nasional seperti KH Ahmad Dahlan dan Ki
Hajar Dewantara. K.H Achmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah yang
menggunakan sistem pendidikan barat dengan menambanhkan pelajaran agama
islam. Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa dengan membuat
sistem pendidikan yang berakar pada budaya dan filosofi hidup Jawa, yang
kemudian dianggap sebagai sistem pengajaran dan pendidikan nasional.
Pada
masa Jepang, pendidikan diarahkan untuk menyediakan prajurit yang siap
berperang di perang Asia Timur Raya. Peggolongan sekolah berdasarkan status
soaial yang dibangun Belanda dihapuskan. Pendidikan hanya digolongkan pada
pendidikan dasar 6 tahun, pendidikan menengah pertama, dan pendidikan menegah
tinggi yang masing-masing tiga tahun, serta pendidikan tinggi. Sekolah Rendah
diganti nama menjadi Sekolah Rakyat (Kokumin Gakko), Sekolah Menengah Pertama
(Shoto Chu Gakko), dan Sekolah Mengengah Tinggi (Koto Chu Gakko). Hampir semua
pendidikan tinggi yang ada pada zaman Belanda ditutup, kecuali Sekolah Tinggi
Kedokteran di Jakarta, dan Sekolah Teknik Tinggi di Bandung.
Pada
masa peralihan dari Jepang ke Sekutu, ketika proklamasi dikumandangkan, dibentuklah
Panitia Penyelidik Pengajaran RI yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara. Lembaga
ini melahirkan rumusan pertama sistem pendidikan nasional, yakni pendidikan
bertujuan menekankan pada semangat dan jiwa patriotisme. Kemudian disusun punla
pembaruan kurikulum pendidikan dan pengajaran. Kurikulum sekolah dasar lebih
mengutamakan pendekatan filosofis-ideologis. Proses penyunsunan singkat dan
tentu saja tanpa disertai data empiris. Penetapan isi kurikulum di masa
permulaan kemerdekaan itu berdasarkan asumsi belaka.
Setelah
Indonesia merdeka dalam pendidikan dikenal beberapa masa pemberlakuan kurikulum
yaitu kurikulum sederhana (1947-1964), pembaharuan kurikulum (1968 dan 1975),
kurikulum berbasis keterampilan proses (1984 dan 1994), dan kurikulum berbasis
kompetensi 2004 kurikulum tingkat satuan pemdidikan 2006 dan kurikulum
2013
1.
Rencana Pelajaran 1947
Kurikulum pertama pada masa kemerdekaan namanya
Rencana Pelajaran 1947. Ketika itu penyebutannya lebih populer
menggunakan leer plan (rencana pelajaran) ketimbang istilah curriculum dalam bahasa Inggris. Rencana Pelajaran 1947 bersifat politis,
yang tidak mau lagi melihat dunia pendidikan masih menerapkan kurikulum
Belanda, yang orientasi pendidikan dan pengajarannya ditujukan untuk
kepentingan kolonialis Belanda. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Situasi
perpolitikan dengan gejolak perang revolusi, maka Rencana Pelajaran 1947, baru
diterapkan pada tahun 1950. Oleh karena itu Rencana Pelajaran 1947 sering juga
disebut kurikulum 1950.
Susunan Rencana Pelajaran 1947 sangat sederhana, hanya memuat dua
hal pokok, yaitu daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, serta garis-garis
besar pengajarannya. Rencana Pelajaran 1947 lebih mengutamakan pendidikan
watak, kesadaran bernegara, dan bermasyarakat, daripada pendidikan pikiran.
Materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap
kesenian, dan pendidikan jasmani.
Mata pelajaran untuk tingkat Sekolah Rakyat ada 16, khusus di
Jawa, Sunda, dan Madura diberikan bahasa daerah. Daftar pelajarannya adalah
Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, Berhitung, Ilmu Alam, Ilmu Hayat, Ilmu Bumi,
Sejarah, Menggambar, Menulis, Seni Suara, Pekerjaan Tangan, Pekerjaan Keputrian,
Gerak Badan, Kebersihan dan Kesehatan, Didikan Budi Pekerti, dan Pendidikan
Agama. Pada awalnya pelajaran agama diberikan mulai kelas IV, namun sejak 1951
agama juga diajarkan sejak kelas 1.
Garis-garis besar pengajaran pada saat itu menekankan pada cara
guru mengajar dab cara murid mempelajari. Misalnya, pelajaran bahasa
mengajarkan bagaimana cara bercakap-cakap, membaca, dan menulis. Ilmu Alam
mengajarkan bagaimana proses kejadian sehari-hari, bagaimana mempergunakan
berbagai perkakas sederhana 9pompa, timbangan, manfaat bes berani), dan
menyelidiki berbagai peristiwa sehari-hari, misalnya mengapa lokomotif diisi
air dan kayu, mengapa nelayan melaut pada malam hari, dan bagaimana menyambung
kabel listrik.
Pada perkembangannya, rencana pelajaran lebih dirinci lagi setiap
pelajarannya, yang dikenal dengan istilah Rencana Pelajaran Terurai 1952.
“Silabus mata pelajarannya jelas sekali. Seorang guru mengajar satu mata
pelajaran”. Pada masa itu juga dibentuk Kelas Masyarakat. yaitu sekolah khusus
bagi lulusan SR 6 tahun yang tidak melanjutkan ke SMP. Kelas masyarakat
mengajarkan keterampilan, seperti pertanian, pertukangan, dan perikanan.
Tujuannya agar anak tak mampu sekolah ke jenjang SMP, bisa langsung bekerja.
Struktur program Sekolah Rakyat (SD) menurut Rencana Pelajaran
1947 adalah sebagai berikut:
No
|
Mata Pelajaran
|
Kelas
|
|||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
||
1.
|
B. Indonesia
|
-
|
-
|
8
|
8
|
8
|
8
|
2.
|
B. Daerah
|
10
|
10
|
6
|
4
|
4
|
4
|
3.
|
Berhitung
|
6
|
6
|
7
|
7
|
7
|
7
|
4.
|
Ilmu Alam
|
-
|
-
|
-
|
-
|
1
|
1
|
5.
|
Ilmu Hayat
|
-
|
-
|
-
|
2
|
2
|
2
|
6.
|
Ilmu Bumi
|
-
|
-
|
1
|
1
|
2
|
2
|
7.
|
Sejarah
|
-
|
-
|
-
|
1
|
2
|
2
|
8.
|
Menggambar
|
-
|
-
|
-
|
-
|
2
|
2
|
9.
|
Menulis
|
4
|
4
|
3
|
3
|
-
|
-
|
10.
|
Seni Suara
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
11.
|
Pekerjaan Tangan
|
1
|
1
|
2
|
2
|
2
|
2
|
12.
|
Pekerjaan kepurtian
|
-
|
-
|
-
|
1
|
2
|
2
|
13.
|
Gerak Badan
|
3
|
3
|
3
|
3
|
3
|
3
|
14.
|
Kebersihan dan kesehatan
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
15.
|
Didikan budi pekerti
|
1
|
1
|
2
|
2
|
2
|
3
|
16.
|
Pendidikan agama
|
-
|
-
|
-
|
2
|
2
|
2
|
JUMLAH
|
28
|
28
|
35
|
38
|
40
|
41
|
2.
Kurikulum 1964
Pada akhir era kekuasaan Soekarno, kurikulum pendidikan yang lalu
diubah menjadi Rencana Pendidikan 1964. Isu yang berkembang pada rencana
pendidikan 1964 adalah konsep pembelajaran yang bersifat aktif, kreatif, dan
produktif. Konsep pembelajaran ini mewajibkan sekolah membimbing anak agar
mampu memikirkan sendiri pemecahan persoalan (problem solving). Rencana
Pendidikan 1964 melahirkan Kurikulum 1964 yang menitik beratkan pada
pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral, yang kemudian dikenal
dengan istilah Pancawardhana. Disebut Pancawardhana karena lima kelompok bidang
studi, yaitu kelompok perkembangan moral, kecerdasan, emosional/artisitk,
keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pada saat itu pendidikan dasar lebih
menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis, yang disesuaikan
dengan perkembangan anak. Cara belajar dijalankan dengan metode disebut gotong
royong terpimpin. Selain itu pemerintah menerapkan hari sabtu sebagai hari
krida. Maksudnya, pada hari Sabtu, siswa diberi kebebasan berlatih kegitan di
bidang kebudayaan, kesenian, olah raga, dan permainan, sesuai minat
siswa. Kurikulum 1964 adalah alat untuk membentuk manusia
pacasialis yang sosialis Indonesia, dengan sifat-sifat seperti pada ketetapan
MPRS No II tanun 1960.
Penyelenggaraan pendidikan dengan kurikulum 1964 mengubah
penilaian di rapor bagi kelas I dan II yang asalnya berupa skor 10 – 100
menjadi huruf A, B, C, dan D. Sedangkan bagi kelas II hingga VI tetap
menggunakan skor 10 – 100.
Kurikulum 1964 bersifat separate subject
curriculum, yang memisahkan mata pelajaran berdasarkan lima kelompok
bidang studi (Pancawardhana). Struktur program berdasarkan kurikulum
ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
No
|
Mata Pelajaran
|
Kelas
|
|||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
||
I
|
Pengembangan Moral
|
||||||
1. Pendidikan
kemasyarakatan
|
1
|
2
|
3
|
3
|
3
|
3
|
|
2. Pendidikan agama/budi
pekerti
|
1
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
|
II
|
Perkembangan kecerdasan
|
||||||
3. Bahasa Daerah
|
9
|
8
|
5
|
3
|
3
|
3
|
|
4. Bahasa Indonesia
|
-
|
-
|
6
|
5
|
8
|
8
|
|
5. Berhitung
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
|
6. Pengetahuan alamiah
|
1
|
1
|
2
|
2
|
2
|
2
|
|
III
|
Pengembangan emosional/artistik
|
||||||
7. Pendidikan kesenian
|
2
|
2
|
4
|
4
|
4
|
4
|
|
IV
|
Pengembangan keprigelan
|
||||||
8. Pendidikan keprigelan
|
2
|
2
|
4
|
4
|
4
|
4
|
|
V
|
Pengembangan jasmani
|
||||||
9. Pendidikan
jasmani/Kesehatan
|
3
|
3
|
4
|
4
|
4
|
4
|
|
Jumlah
|
25
|
26
|
36
|
36
|
36
|
36
|
3.
Pembaharuan Kurikulum 1968 Dan 1975
Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 lahir dengan pertimbangan politik ideologis. Tujuan
pendidikan pada kurikulum 1964 yang bertujuan menciptakan masyarakat sosialis
Indonesia diberangus, pendidikan pada masa ini lebih ditekankan untuk membentuk
manusia pancasila sejati.
Kurikulum 1968 bersifat correlated subject curriculum, artinya materi
pelajaran pada tingkat bawah mempunyai korelasi dengan kurikulum sekolah
lanjutan. Bidang studi pada kurikum ini dikelompokkan pada tiga kelompok besar:
pembinaan pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah mata
pelajarannya 9, yang memuat hanya mata pelajaran pokok saja. Muatan materi
pelajarannya sendiri hanya teoritis, tak lagi mengkaitkannya dengan
permasalahan faktual di lingkungan sekitar. Metode pembelajaran sangat
dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pendidikan dan psikologi pada akhir tahun
1960-an. Salah satunya adalah teori psikologi unsur. Contoh penerapan metode
pembelajarn ini adalah metode eja ketika pembelajaran membaca. Begitu juga pada
mata pelajaran lain, “anak belajar melalui unsur-unsurnya
dulu”. Struktur kurikulum 1968 dapat dilihat pada tabel berikut ini:
No
|
Mata Pelajaran
|
Kelas
|
|||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
||
I
|
Pembinaan Jiwa Pancasila
|
||||||
1. Pendidikan agama
|
2
|
2
|
3
|
4
|
4
|
4
|
|
2. Pendidikan
kewarganegaraan
|
2
|
2
|
4
|
4
|
4
|
4
|
|
3. Bahasa Indonesia
|
-
|
-
|
6
|
6
|
6
|
6
|
|
4. Bahasa Daerah
|
8
|
8
|
2
|
2
|
2
|
2
|
|
5. Pendidikan olahraga
|
2
|
2
|
3
|
3
|
3
|
3
|
|
II
|
Pengembangan pengetahuan dasar
|
||||||
6. Berhitung
|
7
|
7
|
7
|
6
|
6
|
6
|
|
7. IPA
|
2
|
2
|
4
|
4
|
4
|
4
|
|
8. Pendidikan kesenian
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
|
9. Pendidikan kesejahteraan
keluarga
|
1
|
1
|
2
|
2
|
2
|
2
|
|
III
|
Pembinaan kecakapan khusus
|
||||||
10. Pendidikan
kejuruan
|
2
|
2
|
5
|
5
|
5
|
5
|
|
Jumlah
|
28
|
28
|
40
|
40
|
40
|
40
|
Kurikulum
1975
Dibandingkan kurikulum sebelumnya, kurikulum ini lebih lengkap,
jika dilihat dari pedoman yang dikembangkan dalam kurikulum
tersebut. Pada kurikulum SD 7 unsur pokok yang disajikan dalam 3
buku. Tujuh unsur pokok tersebut adalah dasar, tujun, dan prinsip;
struktur program kurikulum; GBPP; sistem penyajian; sistem penilaian; sistem
bimbingan dan penyuluhan; pedoman supervisi dan administrasi. Pembuatan
buku pedoman, pada kurikulum selanjutnya tetap dipertahankan.
Pendekatan kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan
lebih efektif dan efesien, yang mempengaruhinya adalah konsep di bidang
manajemen, yaitu MBO (Management by Objective). Melalui kurikulum 1968 tujuan
pembelajaran setiap mata pelajaran yang terkandung pada kurikulum 1968 lebih
dipertegas lagi. Metode, materi, dan tujuan pengajarannya tertuang secara
gambalang dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Melalui PPSI
kemudian lahir satuan pelajaran, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan.
Setiap satuan bahsasb memiliki unsur-unsur: petunjuk umum, tujuan instruksional
khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar mengajar, dan
evaluasi.
Kurikulum 1975 didasari konsep SAS (Structural, analysis,
sintesis). Anak menjadi pintar karena paham dan mampu menganalisis sesuatu yang
dihubungkan dengan mata pelajaran di sekolah. Kurikulum 1975 juga dimaksudkan
untuk menyerap perkembangan ilmu era 1970-an. Selain memperkuat matematika,
pelajaran teoritis IPA juga dipertajam. Jam pelajaran yang tadinya 41 jam per
minggu, menjadi 43 jam. Pelajaran IPA menjadi gabungan dari Ilmu Hayat dan Ilmu
Alam. Sisi positif kurikulum ini adalah, “ilmu-ilmu dasar yang diserap siswa SD
pada masa itu menjadi semakin berkembang”. Akan tetapi dampak dari kurikulum
1975 adalah banyak guru menghabiskan waktunya untuk mengerjakan tugas
administrasi, seperti membuat TIU, TIK, dan lain-lain; sedangkan substansi
materi uang akan diajarkan kurang didalami.
Struktur program pada kurikulum 1975 di sekolah dasar adalah
sebagai berikut:
No
|
Mata Pelajaran
|
Kelas
|
|||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
||
1.
|
Pendidikan agama
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2.
|
Pendidikan Moral Pancasila
|
2
|
2
|
3
|
4
|
4
|
4
|
3.
|
B. Indonesia
|
8
|
8
|
8
|
8
|
8
|
8
|
4.
|
IPS
|
-
|
-
|
2
|
2
|
2
|
2
|
5.
|
Matematika
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6.
|
IPA
|
2
|
2
|
3
|
4
|
4
|
4
|
7.
|
Olah raga dan kesehatan
|
2
|
2
|
3
|
3
|
3
|
3
|
8.
|
Kesenian
|
2
|
2
|
3
|
4
|
4
|
4
|
9.
|
Keterampilan khusus
|
2
|
2
|
4
|
4
|
4
|
4
|
JUMLAH
|
26
|
26
|
33
|
36
|
36
|
36
|
4.
Kurikulum Keterampilan Proses
Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach, yang senada
dengan tuntukan GBHN 1983 bahwa pendidikan harus mampu mencetak tenaga terdidik
yang kreatif, bermutu, dan efisien bekerja. Kurikulum 1984 tidak mengubah semua
hal dalam, kurikulum 1974, meski mengutamakan proses tapi faktor tujuan tetap
dianggap penting. Oleh karena itu kurikulum 1984 disebut kurikulum 1975 yang
disempurnakan. Posisi Siswa dalam kurikulum 1984 diposisikan sebagai subyek
belajar. Dari hal-hal yang bersifat mengamati, mengelompokkan, mendiskusikan,
hingga melaporkan, menjadi bagian penting proses belajar mengajar, inilah yang
disebut konsep Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).
CBSA didasarkan pada disertasi Conny R. Semiawan, yang didasarkan
pada pandangan Sikortsky, yang menelorkan Zone of Proximality Development.
Teori yang mengatakan bahwa setiap manusia mempunyai potensi dan potensi itu
dapat teraktualisasi melalui ketuntasan belajar tertentu. Tetapi antara potensi
dan aktualisasi terdapat daerah abu-abu (grey area), guru berkewajiban
menjadikan daerah abu-abu ini dapat teraktualisasi. Caranya dengan belajar
kelompok.
Dari sisi konten tidak banyak perubahan pada kurikulum ini,
kecuali ditambahkannya pembelajaran PSPB. Struktur kurikulum pada
tingkat sekolah dasar dapat dilihat pada tabel berikut ini:
No
|
Mata Pelajaran
|
Kelas
|
|||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
||
1.
|
Pendidikan agama
|
2
|
2
|
2
|
2
|
3
|
3
|
2.
|
Pendidikan Moral Pancasila
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
3.
|
PSPB
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
4.
|
B. Indonesia
|
8
|
8
|
8
|
8
|
8
|
8
|
5.
|
IPS
|
-
|
-
|
2
|
3
|
2
|
2
|
6.
|
Matematika
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
7.
|
IPA
|
2
|
2
|
3
|
4
|
4
|
4
|
8.
|
Olah raga dan kesehatan
|
2
|
2
|
3
|
3
|
3
|
3
|
9.
|
Kesenian
|
2
|
2
|
3
|
4
|
4
|
4
|
10.
|
Keterampilan khusus
|
2
|
2
|
4
|
4
|
4
|
4
|
11.
|
B. Daerah
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
|
JUMLAH
|
26
|
26
|
33
|
36
|
36
|
36
|
Kurikulum 1994
Lahirnya UU No 2 tahun 1989 tentang pendidikan nasional, merupakan
pemicu lahirnya kurikulum 1994. Menurut UU tersebut, pendidikan
nasional bertujuan untuk mencerdasakan kehidupan bangsa dan mengembangkan
manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manisia beriman dan bertakwa kepada tuhan
yang mahaesa, berbudi luhur, memeliki keterampilan dan pengetahuan, kessehatan
jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung
jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Pada kurikulum 1994, pendidikan
dasar dipatok menjadi sembilan tahun (SD dan SMP). Berdasarkan struktur
kulikulum, kurikulum 1994 berusaha menyatukan kurikulum sebelumnya, yaitu
kurikulum 1975 dengan pendekatan tujuan dan kurikulum 1984 dengan tujuan
pendekatan proses. Pada kurikulum ini pun dimasukan muatan lokal,
yang berfungsi mengembangkan kemampuan siswa yang dianggap perlu oleh
daerahnya. Pada kurikulum ini beban belajar siswa dinilai terlalu
berat, karena ada muatan nasional dan lokal. Walaupun ada suplemen 1999 seiring
dengan tuntutan reformasi, namun perubahan tidak total. Struktur kurikulum 1994
adalah sebagai berikut:
No
|
Mata Pelajaran
|
Kelas
|
|||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
||
1.
|
Pendidikan agama
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2.
|
Pendidikan Moral Pancasila
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
3.
|
B. Indonesia
|
10
|
10
|
10
|
8
|
8
|
8
|
4.
|
IPS
|
-
|
-
|
3
|
5
|
5
|
5
|
5.
|
Matematika
|
10
|
10
|
10
|
8
|
8
|
8
|
6.
|
IPA
|
3
|
6
|
6
|
6
|
||
7.
|
Olah raga dan kesehatan
|
3
|
5
|
5
|
5
|
||
8.
|
Kerajinan tangan dan kesenian
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
9.
|
Muatan lokal
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
JUMLAH
|
30
|
30
|
38
|
40
|
42
|
42
|
5.
Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kurikulum 2004
Kurikulum 2004 lebih populer dengan sebutan KBK (kurikulum
Berbasis Kompetensi). Lahir sebagai respon dari tuntutan reformasi, diantaranya
UU No 2 1999 tentang pemerintahan daerah, UU No 25 tahun 2000
tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom,
dam Tap MPR No IV/MPR/1999 tentang arah kebijakan pendidikan
nasional. KBK tidak lagi mempersoalkan proses belajar, proses
pembelajaran dipandang merupakan wilayah otoritas guru, yang terpenting pada
tingkatan tertentu peserta didik mencapai kompetensi yang
diharapkan. Kompetensi dimaknai sebagai perpaduan pengetahuan,
keterampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir, dan
bertindak. Seseorang telah memiliki kompetensi dalam bidang tersebut
yang tercermin dalam pola perilaku sehari-hari.
Kompetensi mengandung beberapa aspek, yaitu knowledge,
understanding, skill, value, attitude, dan interest. Dengan
mengembangkan aspek-aspek ini diharapkan siswa memahami, mengusai, dan
menerapkan dalam kehidupan sehari-hari materi-materi yang telah
dipelajarinya. Adapun kompentensi sendiri diklasifikasikan menjadi:
kompetensi lulusan (dimilik setelah lulus), kompetensi standar (dimiliki
setelah mempelajari satu mata pelajaran), kompetensi dasar (dimiliki setelah
menyelesaikan satu topik/konsep), kompetensi akademik (pengetahuan dan
keterampilan dalam menyelesaikan persoalan), kompetensi okupasional (kesiapan
dan kemampuan beradaptasi dengan dunia kerja), kompetensi kultural (adaptasi
terhadap lingkungan dan budaya masyarakat Indonesia), dan kompetensi temporal
(memanfaatkan kemampuan dasar yang dimiliki siswa. KBK dinilai lebih unggul
daripada kurikulum 1994, jika dilihat dari beberapa aspek berikut ini:
Beberapa keunggulan KBK dibandingkan kurikulum 1994 adalah:
1994
|
KBK
|
|
Yang dikedepankan
|
Penguasaan materi
|
Hasil dan kompetenasi
|
Paradigma pembelajaran
|
versi UNESCO: learning to know, learning to
do, learning to live together, dan learning to be
|
|
Silabus
|
Silabus ditentukan secara seragam
|
Peran serta guru dan siswa dalam proses
pembelajaran, silabus menjadi kewenagan guru.
|
Jumlah jam pelajaran
|
40 jam per minggu
|
32 jam perminggu, tetapi jumlah mata
pelajaran belum bissa dikurangi
|
Metode pembelajaran
|
Keterampilan proses
|
Lahir metode pembelajaran PAKEM dan CTL
|
Sistem penilaian
|
Lebih menitik beratkan pada aspek kognitif
|
Penilaian memadukan keseimbangan kognitif,
psikomotorik, dan afektif, dengan penekanan penilaian berbasis kelas
|
KBK memiliki empat komponen, yaitu kurikulum dan hasil belajar
(KHB), penilaian berbasis kelas (PBK), kegiatan belajar mengajar (KBM), dan
pengelolaan kurikulum berbasis sekolah (PKBS). KHB berisi tentang
perencaan pengembangan kompetensi siswa yang perlu dicapai secara keseluruhan
sejak lahir sampai usia 18 tahun. PBK adalah melakukan penilaian
secara seimbang di tiga ranah, dengan menggunakan instrumen tes dan non tes,
yang berupa portofolio, produk, kinerja, dan pencil test. KBM diarahkan pada
kegiatan aktif siswa dala membangun makna atau pemahaman, guru tidak bertindak
sebagai satu-satunya sumber belajar, tetapi sebagai motivator yang dapat
menciptakan suasana yang memungkinkan siswa dapat belajar secara penuh dan
optimal. PKBS memuat berbagai pola pemberdayaan tenaga kependidikan
dan sumberdaya lain untuk meningkatkan mutu hasil belajar. Struktur
kurikulum KBK adalah sebagai berikut
No
|
Mata Pelajaran
|
Kelas
|
|||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
||
Matapelajaran
|
1.
Pendidikan agama
|
Tematik
|
3
|
||||
2. Pendidikan kewarganegaraan dan
pengetahuan sosial
|
5
|
||||||
3.
Bahasa Indonesia
|
5
|
||||||
4.
Matematika
|
5
|
||||||
5.
IPA
|
4
|
||||||
6.
Kerajinan tangan dan kesenian
|
4
|
||||||
7.
Pendidikan jasmani
|
4
|
||||||
pembiasaan
|
8.
Kegiatan yang mendorong/mendukung pembiasaan
|
2
|
|||||
Mulok
|
9.
Mata pelajaran/kegiatan
|
||||||
Jumlah
|
27
|
32
|
6.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Ktsp
2006)
Kurikulum 2006 atau KTSP tidak mengubah KBK, bahkan sebagai
penegas KBK (Jalal, 2006). Dibandingkan kurikulum 1994, kurikulum
KTSP lebih sederhana, karena ada pengurangan beban belajar sebanyak 20%, jam
pelajaran yang dikurangi antara 100-200 jam per tahun, bahan ajar yang dianggap
memberatkan siswa pun akan dikurangi, kurikulum ini lebih menekankan pada
pengembangan kompetensi siswa dari pada apa yang harus dilakukan guru.
Kurikulum 2006 adalah penyempurnaan dari KBK yang telah diuji coba kelayakannya
secara publik, melalui beberapa sekolah yang menjadi pilot project. Menurut
Jalal (2006) KBK tidak resmi, hanya uji coba yang diterapkan di sekitar 3.000
sekolah se- Indonesia.
KTSP sendiri lahir sebagai respon dari UU No 20 tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional, terutama pasal 36 ayat 1 dan 2. KTSP
bertujuan memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian
kewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikan. Prinsip pengembangan
KTSP adalah:
1. Berpusat pada potensi,
pengembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik, dan lingkungannya.
2. Beragam dan terpadu
3. Tanggap terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
4. Relevan dengan kebutuhan
kehidupan
5. Menyeluruh dan berkesinambungan
6. Belajar sepanjang hayat
7. Seimbang antara kepentingan
nasional dan kepentingan daerah
Komponen dalam KTSP adalah:
1. Tujuan pada pendidikan dasar:
meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta
keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan
lanjut.
2. Struktur dan muatan KTSP pada
jenjang pendidikan dasar
No
|
Mata Pelajaran
|
Kelas
|
|||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
||
Matapelajaran
|
1.
Pendidikan agama
|
Tematik
|
3
|
||||
2.
Pendidikan kewarganegaraan
|
2
|
||||||
3.
Bahasa Indonesia
|
5
|
||||||
4.
Matematika
|
5
|
||||||
5.
IPA
|
4
|
||||||
6.
IPS
|
3
|
||||||
7.
Kerajinan tangan dan kesenian
|
4
|
||||||
8.
Pendidikan jasmani
|
4
|
||||||
9.
Seni budaya dan keterampilan
|
4
|
||||||
Mulok
|
2
|
||||||
Pengembangan diri
|
2
|
||||||
Jumlah
|
26
|
27
|
28
|
32
|
3.
Kenaikan kelas dan kelulusan berdasarkan PP
19/2005 pasal 72 ayat 1, siswa dinyatakan lulus apabila: menyelesaikan seluruh
program pembelajaran, memperoleh nilai minimal, lulus ujian sekolah, dan lulus
ujian nasional.
Pengembangan Silabus
Pada KTSP menuntut satuan pendidikan untuk mengembangkan
silabus. Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu atau
kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompentensi,
kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator,
penilaian, alokasi waktu, dan suber/alat/bahan belajar. Silabus merupakan
penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi
pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi
untuk penilaian.
Silabus dikembangkan dengan menekankan pada prinsip ilmiah,
relevan, sistematis, konsisten, memadai, aktual dan kontekstual, fleksibel, dan
menyeluruh.
Berdasarkan unit waktu:
1.
Silabus mata pelajaran disusun berdasarkan
seluruh alokasi waktu yang disediakan untuk mata pelajaran selama
penyelenggaraan pendidikan di tingkat satuan pendidikan.
2.
Penyusunan silabus memperhatikan alokasi waktu
yang disediakan per semester, pertahun, dan alokasi waktu untuk mata pelajaran
lain yang sekelompok.
3.
Implementasi per semester menggunakan
penggalan silabus sesuai dengan standar kompetensi dasar untuk mata pelajaran
dengan alokasi waktu yang tersedia pada struktur kurikulum.
Pengembangan silabus dilakukan oleh para guru secara mandiri, atau
berkelompok dalam sebuah sekolah, atau beberapa sekolah, kelompok MGMP atau
PKG, dan dinas pendidikan. Adapun langkah-langkah pengembangan silabus adalah
sebagai berikut:
1.
Mengkaji standar kompetensi dan kompetensi
dasar seperti yang ada pada standar isi
2.
Mengidentifikasi materi pokok/pembelajaran
yang menunjang potensi peserta didik, relevansi dengan karakteristik daerah,
tingkat perkembangan, kebermanfaatan, struktur ilmu, dan lain-lain.
3.
Mengemban kegiatan pembelajaran untuk
memberikan pengalaman belajar yang sesuai dengan pencapaian kompetensi. Kegiatan
pembelajaran menekankan pada proses pengembangan mental dan fisik melalui
interaksi antara semua yang terlibat, baik siswa, guru, lingkungan, dan sumber
belajar lainnya.
4.
Merumuskan indikator pencapaian kompetensi
sebagai penanda pencapaian kompetensi dasar yang ditandai oleh perubahan
perilaku yang dapat diukur mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
5.
Penentuan jenis penilaian berdasarkan
indikator baik dalam bentuk tes maupun non tes, tertulis maupun lisan,
pengamatan kinerja, pengukuran sikap penilaian hasil karya, dan lain-lain.
6.
Penentuan alokasi waktu pada setiap
kompentensi dasar yang didasarkan pada jumlah minggu efektif dan alokasi waktu
mata pelajaran perminggu.
7.
Memanfaatkan sumber belajar sebagai rujukan
baik berupa cetak, elektronik, narasumber, lingkungan fisik, a;am, sosial, dan
budaya.
Dari
uraian di atas, contoh format silabus adalah sebagai berikut:
SILABUS
NAMA
SEKOLAH:
MATA
PELAJARAN:
KELAS/SEMESTER:
STANDAR
KOMPETENSI (LIHAT STANDAR ISI)
KOMPETENSI
DASAR (LIHAT STANDAR ISI)
ALOKASI
WAKTU:
Materi pokok pembelajaran
|
Kegiatan pembelajaran
|
Indikator
|
Penilaian
|
Alokasi waktu
|
Sumber Belajar
|
Untuk memperjelas pemahaman tentang
kurikulum, kita perlu mengetahui, apa toh yang dimaksud dengan kurikulum? Apa
pula KTSP?
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu. Sedang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah
kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan
pendidikan (sekolah).
Komponen KTSP terdiri dari:
1. Visi, Misi, dan Tujuan Pendidikan Tingkat Satuan
Pendidikan
2. Struktur dan Muatan KTSP
3. Kalender Pendidikan
4. Silabus
5. RPP
Visi dan Misi, sudah ada dan dimiliki oleh
setiap satuan pendidikan. Sedang Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan
dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan
untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
Pengembangan KTSP didasarkan pada PP No.19 Tahun 2005 tentang SNP
(Standar Nasional Pendidikan) pasal 17, yang menyebutkan bahwa : 1) Kurikulum
tingkat satuan pendidikan dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan,
potensi/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat, dan karakteristik
peserta didik, 2) Sekolah dan komite sekolah/madrasah mengembangkan kurikulum
satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan
standar kompetensi lulusan serta berpedoman pada panduan yg disusun oleh BSNP
Dengan demikian kurikulum yang biasanya sudah
berupa ‘buku paket’ seragam yang dibuat oleh pemerintah pusat, tidak ada lagi.
Yang ada adalah Kurikulum SMP atau SMA Anu. Masing-masing satuan pendidikan
(sebut: sekolah), membuat kurikulum sendiri dan dilaksanakan sendiri.
Pemerintah pusat hanya memberikan acuan operasional penyusunannya.
Acuan Operasional penyusunan KTSP adalah
sebagai berikut :
1.
Peningkatan iman dan
takwa serta akhlak mulia
2.
Peningkatan potensi,
kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta
didik
3.
Keragaman potensi dan
karakter daerah dan lingkungan
4.
Tuntutan pembangunan daerah dan nasional
5.
Tuntutan dunia kerja
7.
Kurikulum 2013
Secara falsafati, pendidikan adalah proses panjang dan
berkelanjutan untuk mentransformasikan peserta didik menjadi manusia yang
sesuai dengan tujuan penciptaannya, yaitu bermanfaat bagi dirinya, bagi sesama,
bagi alam semesta, beserta segenap isi dan peradabannya.
Dalam UU Sisdiknas, menjadi bermanfaat itu dirumuskan dalam
indikator strategis, seperti beriman-bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Dalam memenuhi kebutuhan kompetensi Abad 21, UU Sisdiknas
juga memberikan arahan yang jelas, bahwa tujuan pendidikan harus dicapai salah
satunya melalui penerapan kurikulum berbasis kompetensi. Kompetensi lulusan
program pendidikan harus mencakup tiga kompetensi, yaitu sikap, pengetahuan,
dan keterampilan, sehingga yang dihasilkan adalah manusia seutuhnya. Dengan
demikian, tujuan pendidikan nasional perlu dijabarkan menjadi himpunan
kompetensi dalam tiga ranah kompetensi (sikap, pengetahuan, dan keterampilan).
Di dalamnya terdapat sejumlah kompetensi yang harus dimiliki seseorang agar
dapat menjadi orang beriman dan bertakwa, berilmu, dan seterusnya.
Mengingat pendidikan idealnya proses sepanjang hayat, maka lulusan
atau keluaran dari suatu proses pendidikan tertentu harus dipastikan memiliki
kompetensi yang diperlukan untuk melanjutkan pendidikannya secara mandiri
sehingga esensi tujuan pendidikan dapat dicapai.
Perencanaan Pembelajaran
Dalam usaha menciptakan sistem perencanaan, pelaksanaan, dan
pengendalian yang baik, proses panjang tersebut dibagi menjadi beberapa
jenjang, berdasarkan perkembangan dan kebutuhan peserta didik. Setiap jenjang
dirancang memiliki proses sesuai perkembangan dan kebutuhan peserta didik
sehingga ketidakseimbangan antara input yang diberikan dan kapasitas pemrosesan
dapat diminimalkan.
Sebagai konsekuensi dari penjenjangan ini, tujuan pendidikan harus
dibagi-bagi menjadi tujuan antara. Pada dasarnya kurikulum merupakan
perencanaan pembelajaran yang dirancang berdasarkan tujuan antara di atas.
Proses perancangannya diawali dengan menentukan kompetensi lulusan (standar
kompetensi lulusan). Hasilnya, kurikulum jenjang satuan pendidikan.
Dalam teori manajemen, sebagai sistem perencanaan pembelajaran
yang baik, kurikulum harus mencakup empat hal. Pertama, hasil akhir pendidikan
yang harus dicapai peserta didik (keluaran), dan dirumuskan sebagai kompetensi
lulusan. Kedua, kandungan materi yang harus diajarkan kepada, dan dipelajari
oleh peserta didik (masukan/standar isi), dalam usaha membentuk kompetensi lulusan
yang diinginkan. Ketiga, pelaksanaan pembelajaran (proses, termasuk metodologi
pembelajaran sebagai bagian dari standar proses), supaya ketiga kompetensi yang
diinginkan terbentuk pada diri peserta didik. Keempat, penilaian kesesuaian
proses dan ketercapaian tujuan pembelajaran sedini mungkin untuk memastikan
bahwa masukan, proses, dan keluaran tersebut sesuai dengan rencana.
Dengan konsep kurikulum berbasis kompetensi, tak tepat jika ada
yang menyampaikan bahwa pemerintah salah sasaran saat merencanakan perubahan
kurikulum, karena yang perlu diperbaiki sebenarnya metodologi pembelajaran
bukan kurikulum. (Mohammad Abduhzen, “Urgensi Kurikulum 2013”, Kompas, 21/2 dan
“Implementasi Pendidikan”, Kompas, 6/3). Hal ini menunjukkan belum dipahaminya
secara utuh bahwa kurikulum berbasis kompetensi termasuk mencakup metodologi
pembelajaran.
Tanpa metodologi pembelajaran yang sesuai, tak akan terbentuk
kompetensi yang diharapkan. Sebagai contoh, dalam Kurikulum 2013, kompetensi
lulusan dalam ranah keterampilan untuk SD dirumuskan sebagai “memiliki (melalui
mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyaji, menalar, mencipta)
kemampuan pikir dan tindak yang produktif dan kreatif, dalam ranah
konkret dan abstrak, sesuai dengan yang ditugaskan kepadanya.”
Kompetensi semacam ini tak akan tercapai bila pengertian kurikulum
diartikan sempit, tak termasuk metodologi pembelajaran. Proses pembentukan
kompetensi itu, sudah dirumuskan dengan baik melalui kajian para peneliti, dan
akhirnya diterima luas sebagai suatu taksonomi.
Pemikiran pengembangan Kurikulum 2013 seperti diuraikan di atas
dikembangkan atas dasar taksonomi-taksonomi yang diterima secara luas, kajian
KBK 2004 dan KTSP 2006, dan tantangan Abad 21 serta penyiapan Generasi 2045.
Dengan demikian, tidaklah tepat apa yang disampaikan Elin Driana, “Gawat
Darurat Pendidikan” (Kompas, 14/12/2012) yang mengharapkan sebelum Kurikulum
2013 disahkan, baiknya dilakukan evaluasi terhadap kurikulum sebelumnya.
Mengatakan tidak ada masalah dengan kurikulum saat ini adalah kurang
tepat. Sebagai contoh, hasil pembandingan antara materi TIMSS 2011 dan materi
kurikulum saat ini, untuk mata pelajaran Matematika dan IPA, menunjukkan,
kurang dari 70 persen materi TIMSS yang telah diajarkan sampai dengan kelas
VIII SMP.
Belum lagi rumusan kompetensi yang belum sesuai dengan tuntutan UU
dan praktik terbaik di dunia, ketidaksesuaian materi matapelajaran dan tumpang
tindih yang tidak diperlukan pada beberapa materi matapelajaran, kecepatan
pembelajaran yang tidak selaras antarmata pelajaran, dangkalnya materi, proses,
dan penilaian pembelajaran, sehingga peserta didik kurang dilatih bernalar dan
berfikir.
Kompetensi Inti
Kompetensi lulusan jenjang satuan pendidikan
pun masih memerlukan rencana pendidikan yang panjang untuk pencapaiannya.
Sekali lagi, teori manajemen mengajarkan, untuk memudahkan proses perencanaan
dan pengendaliannya, pencapaian jangka panjang perlu dibagi-bagi jadi beberapa
tahap sesuai dengan jenjang kelas di mana kurikulum tersebut diterapkan.
Sejalan dengan UU, kompetensi inti ibarat anak
tangga yang harus ditapak peserta didik untuk sampai pada kompetensi lulusan
jenjang satuan pendidikan. Kompetensi inti meningkat seiring meningkatnya usia
peserta didik yang dinyatakan dengan meningkatnya kelas.
Melalui kompetensi inti, sebagai anak tangga
menuju ke kompetensi lulusan, integrasi vertikal antarkompetensi dasar dapat
dijamin, dan peningkatan kemampuan peserta dari kelas ke kelas dapat
direncanakan. Sebagai anak tangga menuju ke kompetensi lulusan multidimensi,
kompetensi inti juga memiliki multidimensi. Untuk kemudahan operasionalnya,
kompetensi lulusan pada ranah sikap dipecah menjadi dua, yaitu sikap spiritual
terkait tujuan membentuk peserta didik yang beriman dan bertakwa, dan
kompetensi sikap sosial terkait tujuan membentuk peserta didik yang berakhlak
mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.
Kompetensi inti bukan untuk diajarkan, melainkan untuk dibentuk
melalui pembelajaran mata pelajaran-mata pelajaran yang relevan. Setiap mata
pelajaran harus tunduk pada kompetensi inti yang telah dirumuskan. Dengan kata
lain, semua mata pelajaran yang diajarkan dan dipelajari pada kelas tersebut
harus berkontribusi terhadap pembentukan kompetensi inti.
Ibaratnya, kompetensi inti merupakan pengikat kompetensi-kompetensi
yang harus dihasilkan dengan mempelajari setiap mata pelajaran. Di sini
kompetensi inti berperan sebagai integrator horizontal antarmata pelajaran.
Dengan pengertian ini, kompetensi inti adalah bebas dari mata
pelajaran karena tidak mewakili mata pelajaran tertentu. Kompetensi inti
merupakan kebutuhan kompetensi peserta didik, sedangkan mata pelajaran adalah
pasokan kompetensi dasar yang akan diserap peserta didik melalui proses
pembelajaran yang tepat, menjadi kompetensi inti. Bila pengertian kompetensi
inti telah dipahami dengan baik, tentunya tidak akan ada kritikan bahwa
Kurikulum 2013 adalah salah dengan alasan pada “Kompetensi Inti Bahasa
Indonesia” tidak terdapat kompetensi yang mencerminkan kompetensi Bahasa
Indonesia, karena memang tidak ada yang namanya kompetensi inti Bahasa
Indonesia, sebagaimana yang dipertanyakan Acep Iwan Saidi, “Petisi untuk
Wapres” (Kompas, 2/3).
Dalam mendukung kompetensi inti, capaian pembelajaran mata
pelajaran diuraikan menjadi kompetensi dasar-kompetensi dasar yang
dikelompokkan menjadi empat. Ini sesuai dengan rumusan kompetensi inti
yang didukungnya, yaitu dalam kelompok kompetensi sikap spiritual, kompetensi
sikap sosial, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi keterampilan.
Uraian kompetensi dasar sedetil ini adalah untuk memastikan bahwa
capaian pembelajaran tidak berhenti sampai pengetahuan saja, melainkan harus
berlanjut ke keterampilan, dan bermuara pada sikap.
Kompetensi dasar dalam kelompok kompetensi inti sikap bukanlah
untuk peserta didik, karena kompetensi ini tidak diajarkan, tidak dihafalkan,
tidak diujikan, tapi sebagai pegangan bagi pendidik, bahwa dalam mengajarkan
mata pelajaran tersebut, ada pesan-pesan sosial dan spiritual yang terkandung
dalam materinya. Apabila konsep pembentukan kompetensi ini dipahami, dapat
mengurangi bahkan menghilangkan kegelisahan yang disampaikan L. Wiliardjo dalam
“Yang Indah dan yang Absurd” (Kompas, 22/2)
Kedudukan Bahasa
Uraian rumusan kompetensi seperti itu masih belum cukup untuk
dapat digunakan, terutama saat merancang kurikulum SD (jenjang sekolah paling
rendah), tempat dimana peserta didik mulai diperkenalkan banyak kompetensi
untuk dikuasai. Pada saat memulainya pun, peserta didik SD masih belum terlatih
berfikir abstrak. Dalam kondisi seperti inilah, maka terlebih dahulu perlu
dibentuk suatu saluran yang menghubungkan sumber-sumber kompetensi, yang
sebagian besarnya abstrak, kepada peserta didik yang masih mulai belajar
berfikir abstrak.
Di sini peran bahasa menjadi dominan, yaitu sebagai saluran
mengantarkan kandungan materi dari semua sumber kompetensi kepada peserta
didik.
Usaha membentuk saluran sempurna (perfect channels dalam teknologi
komunikasi) dapat dilakukan dengan menempatkan bahasa sebagai penghela mata
pelajaran-mata pelajaran lain. Dengan kata lain, kandungan materi mata
pelajaran lain dijadikan sebagai konteks dalam penggunaan jenis teks yang
sesuai dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Melalui pembelajaran tematik
integratif dan perumusan kompetensi inti, sebagai pengikat semua kompetensi
dasar, pemaduan ini akan dapat dengan mudah direalisasikan.
Dengan cara ini pula, maka pembelajaran Bahasa Indonesia dapat
dibuat menjadi kontekstual, sesuatu yang hilang pada model pembelajaran Bahasa
Indonesia saat ini, sehingga pembelajaran Bahasa Indonesia kurang diminati oleh
pendidik maupun peserta didik.
Melalui pembelajaran Bahasa Indonesia yang kontekstual, peserta
didik sekaligus dilatih menyajikan bermacam kompetensi dasar secara logis dan
sistematis. Mengatakan kompetensi dasar Bahasa Indonesia SD, yang memuat
penyusunan teks untuk menjelaskan pemahaman peserta didik, terhadap ilmu
pengetahuan alam sebagai mengada-ada (Acep Iwan Saidi, “Petisi untuk Wapres”),
sama saja dengan melupakan fungsi bahasa sebagai pembawa kandungan ilmu pengetahuan.
Kurikulum 2013 adalah kurikulum berbasis kompetensi yang pernah
digagas dalam Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, tapi belum
terselesaikan karena desakan untuk segera mengimplementasikan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Rumusannya berdasarkan pada sudut pandang yang
berbeda dengan kurikulum berbasis materi, sehingga sangat dimungkinkan terjadi
perbedaan persepsi tentang bagaimana kurikulum seharusnya dirancang. Perbedaan
ini menyebabkan munculnya berbagai kritik dari yang terbiasa menggunakan
kurikulum berbasis materi. Untuk itu ada baiknya memahami lebih dahulu terhadap
konstruksi kompetensi dalam kurikulum sesuai koridor yang telah digariskan UU
Sisdiknas, sebelum mengkritik.
Dan berikut ini adalah beberapa hal yang baru yang terdapat pada
kurikulum 2013 mendatang diantaranya sebagai berikut:
SD – MI (Sekolah Dasar Madrasah
Ibtidaiyah)
- Kurikulum 2013 berbasis pada sains.
- Kurikulum 2013 untuk SD, bersifat tematik integratif.
- Kompetensi yang ingin dicapai adalah kompetensi yang
berimbang antara sikap, keterampilan, dan pengetahuan, disamping cara
pembelajarannya yang holistik dan menyenangkan.
- Proses pembelajaran menekankan aspek kognitif, afektif,
psikomotorik melalui penilaian berbasis tes dan portofolio saling
melengkapi.
- Mata pelajara (MAPEL) SD diantaranya:
·
Pendidikan Agama
·
PPKn
·
Bahasa Indonesia
·
Matematika
·
IPA
·
IPS
·
Seni Budaya dan Prakarya (Muatan Lokal; Mulok)
·
Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan
(Muatan Lokal;Mulok)
- Alokasi waktu per jam pelajaran SD 35 menit
- Banyak jam pelajaran per minggu Kelas I = 30 jam, kelas II= 32 jam, kelas III=34 jam, kelas IV, V,VI=36 jam
SMP – MTs (Sekolah Menengah
Pertama – Madrasah Tsanawiyah)
a.
Mata pelajaran SMP MTs kurikulum 2013 sebagai
berikut:
·
Pendidikan Agama dan Budi Pekerti
·
PPKn
·
Bahasa Indonesia
·
Matematika
·
IPA
·
IPS
·
Bahasa Inggris
·
Seni Budaya (Muatan Lokal)
·
Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan
(Muatan Lokal)
·
Prakarya (Muatan Lokal)
b.
Alokasi waktu per jam pelajaran SMP = 40 menit
c.
Banyak jam pelajaran per minggu 38 jam
SMA
– MA (Sekolah Menengah Atas – Madrasah Aliyah)
a.
Mata pelajaran SMA – MA kurikulum 2013 sebagai
berikut:
·
Pendidikan Agama dan Budi Pekerti
·
PPKn
·
Bahasa Indonesia
·
Matematika
·
Sejarah Indonesia
·
Bahasa Inggris
·
Seni Budaya (Muatan Lokal)
·
Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan
(Muatan Lokal)
·
Prakarya dan Kewirausahaan (Muatan Lokal)
·
Alokasi waktu per jam pelajaran SMA = 45 menit
·
Banyak jam pelajaran per minggu SMA = 39 jam
Sumbernya dari mana?
BalasHapus